MASALAH  PENERAPAN STUFENBAU TEORI TERHADAP PERATURAN BANK INDONESIA DALAM HIREARKI PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
Robert Panjaitan
 
TUGAS MATA KULIAH 
TEORI  ILMU HUKUM
Prof. Dr. Kuntoro, PhD.
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS BHAYANGKARA JAKARTA RAYA
MEI 2011
BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Teori Hukum merupakan ilmu yang sangat luas. Cakupun ilmu hukum tidak terbatas hanya pada  lingkup hukum, norma,perundang-undangan semata tapi meliputi aspek antropologi, kultur, sosial, ideologi dan politik. Cakupan yang relatif luas mengindikasikan bahwa hukum tidak dapat mudah dimengerti baik definisi maupun substansinya. Namun demikian, menekuni pembelajaran  ilmu hukum signifikan untuk menambah pemahaman dalam berhukum. 
Perjalanan teori hukum itu sendiri sudah cukup lama, bahkan untuk konteks Indonesia, teori hukum itu sudah ada sebelum  adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Meskipun teori-teori hukum  sudah sangat lama, namun keberadaannya dalam hukum dan terutama pembelajaran ilmu hukum masih sangat relevan. Beberapa teori  hukum yang masih menarik untuk didalami antara lain  aliran-aliran Yunani, Romawi, Natural, Positivisme. 
Diantara aliran-aliran tersebut, terdapat satu  teori hierarki  (Stufenbau Theory)  yang dicetuskan oleh Hans Kelsen. Hans Kelsen masuk aliran Positivisme, yang mengutamakan hukum menjadi satu-satunya sumber  dan kekuasaan tertinggi dalam suatu negara.
Penulis tertarik untuk mendiskusikan Stufenbau Theory mengingat meskipun teori ini sudah lahir jauh hari sebelum Indonesia lahir, namun  hierarki yang dimaksud masih relevan menjadi acuan dan  diterapkan dalam sistem perundang-undangan di Indonesia. Hal mana dapat dilihat dari  Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan. Sebelumnya, hierarki perundangan telah diatur dalam Tap MPR No. III Tahun 2000. 
Meskipun sudah diatur dalam perundang-undangan, namun masih terdapat badan hukum publik  yang belum termasuk dalam hierarki tersebut antara Bank Indonesia. Eksistensi Bank Indonesia selaku bank sentral dijamin dalam UUD 1945 Pasal 23 D, Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggungjawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang.
Meskipun eksplisit dinyatakan dalam UUD 1945, namun kedudukan lembaga Bank Indonesia tidak termasuk dalam Lembaga Tinggi Negara seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sementara itu, dari statusnya yang independen, Bank Indonesia merupakan lembaga negara yang memiliki kemandirian  yang tidak bisa diintervensi oleh siapapun termasuk Presiden.
Sebagai lembaga negara yang independen, Bank Indonesia berkewenangan untuk membuat  Peraturan Bank Indonesia  yang mengikat  publik. Peraturan Bank Indonesia sendiri  didaftarkan dalam Lembar Negara.
1.2  Permasalahan
Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, timbul permasalahan  pokok sebagai berikut :
a.       Dengan ditetapkannya Undang-undang No. 10 Tahun 2004, bagaimanakah kedudukan Peraturan Bank Indonesia dalam tata hukum di Indonesia?
b.      Apakah terdapat potensi  dispute Peraturan Bank Indonesia terhadap peraturan pelaksana undang-undang lain khususnya Peraturan Pemerintah?
1.3  Ruang Lingkup Pembahasan
Sehubungan dengan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka pembahasan didasarkan pada  analisis  teori  hukum khususnya  Stufenbau Theory. Penulis menyadari bahwa pembahasan terhadap pokok permasalahan tidak dapat dipisahkan dari pembahasan  sistem ketatanegaraan. Namun mengingat ruang dan waktu, pembahasan dalam paper ini dibatasi  hanya dari sudut Teori Hirearki Hukum (Stufenbau Theory). 
Pembahasan akan diawali dengan Tinjauan Teoritis yang relevan (II), selanjutnya dalam bagian III akan dilakukan  Pembahasan dan Analis  dan mencoba mengusulkan  posisi  Peraturan Bank Indonesia. Hasil pembahasan akan disimpulkan dalam bagian IV disertai dengan saran.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Hukum, Norma dan Perundang-undangan
Apa itu hukum menjadi pertanyaan penting  dalam pelajaran  hukum. Hukum banyak seginya dan demikian luasnya, sehingga tidak mungkin orang menyatukannya dalam satu rumus secara memuaskan. Apabila didefinisikan, akan cenderung menimbulkan penyamarataan (generalisasi). Sementara itu, untuk memahami  denifinisi  tidak bisa dari penyamarataan. Untuk mengetahui hukum idealnya, seseorang harus belajar mengenalnya dan melihatnya.
Menurut  AH. De Wild bahwa  hukum bukanlah kosmos kaidah yang otonom.  Lebih dari itu adalah bahwa hukum merupakan kompleks  kaidah, hukum tidaklah  gejala netral. Hukum berada dalam jalinan problem  dan dinamika kemasyarakatan. Hukum dan fenomena sosial diletakkan pada fenomena yang sama.[1]
Menurut D. Schindler, hukum memiliki suatu kesatuan empat momen.  Masing-masing momen memiliki sifat dialektikal, yang berarti bahwa pertentangan-pertentangan itu dipikirkan dalam hubungan antara yang satu dengan lainnya. Empat momen hukum tersebut adalah ;
Pertama, momen  normatif-formal. Hal dimaksud adalah bentuk-bentuk hukum : aturan, keputusan dan asas hukum. Hukum di sini dipandang sebagai  penataan hukum yang berkaitan dengan  hal mewujudkan ketertiban, perdamaian, harmoni, kepastian hukum.
Kedua, memiliki sutu sifat faktual-formal. Hal ini merujuk pada kekuasaan.  
Dalam kedua momen tersebut, aspek-aspek formal ditampilkan ke muka. Tetapi antara keduanya memiliki perbedaan dalam “cara beradanya”.
Momen normatif-formal memiliki suatu cara rohaniah, yang normatif itu hanya dapat dipikirkan dan tidak dapat diamati. Sebaliknya, kekuasaan adalah kategori empirikal, dan relasi-relasi  kekuasaan juga secara empirikal dapat dipaparkan dan dianalisis.
Ketiga, momen normatif-materiil. Hukum itu terdapat  suatu sisi (aspek) etikal. Terdapat kaidah-kadiah yang berlaku  yang isinya untuk hukum relevan. Hukum dan etika tidak dipisahkan satu dari yang lainnya.
Keempat, momen faktual – materiil, berkaitan dengan keperluan dan kebutuhan vital. Di sini, pikiran ditekankan pada upaya pemenuhan kebutuhan yang minimal diperlukan bagi keberadaan (eksistensi) manusia. 
Jika  semua momen-momen tersebut disatukan,  maka dapat dikemukakan bahwa hukum itu adalah suatu penataan, yang mencoba mempengaruhi perilaku manusiawi sedemikian rupa, sehingga pemenuhan keperluan dan kebutuhan-kebutuhan vital dapat diupayakan dengan cara yang adil.[2]
Perundang-undangan  yang dalam Bahasa Inggris disebut legislation, dalam bahasa Belanda 
Wetgeving, dan dalam bahasa Jerman disebut Gezetzgebung memiliki dua arti :
Pertama, diartikan sebagai proses pembentukan  atau proses membentuk peraturan negara, baik ditingkat pusat maupun daerah
Kedua, diartikan sebagai keseluruhan peraturan negara, yang merupakan hasil  pembentukan peraturan-peraturan  baik di tingkat pusat maupun daerah[3].
Berdasarkan pengamatan terhadap opini  dan pandangan para ahli hukum tersebut di atas, penulis memberanikan diri untuk memberikan referensi hukum bahwa  HUKUM  adalah Himpunan Undang-undang dan  Kaidah-kaidah  Untuk mengatur dan memaksa Masyarakat.
Selanjutnya akan diuraikan  perkembangan pemikiran beberapa  para ahli hukum (Yuris) diantaranya adalah :
2.2 Aliran Yunani
Teori hukum aliran Yunani berintikan pemikiran filsafati, contohnya adalah Plato. Ia berpendapat bahwa keadilan itu terdapat apabila  orang mengurusi pekerjaan sendiri dan tidak mencampuri orang lain. Pandangan Plato lainnya ialah mengenai penyelesaian sengketa dalam masyarakat diserahkan kepada para hakim. Ia menghendaki para hakim diikat oleh peraturan-peraturan yang pasti terdapat dalam hukum positif.  Dalan The Laws, ia tidak menerima  konsep negara yang diperintah oleh kekuasaan, melainkan  harus dijalankan atas dasar norma-norma tertulis. Para penguasa haruslah menjadi hamba hukum yang tidak membeda-bedakan orang.
Tokoh  selain Plato adalah Aristoteles. Aristoteles membagi keadilan atas keadilan distributif dan keadilan korektif.
Keadilan distributif dimaksudkan  bahwa orang yang mempunyai kedudukan sama memperoleh perlakuan  yang sama pula dihadapan hukum
Keadilan korektif dimaksudkan bahwa dalam menjalankan hukum sehari-hari harus  ada suatu standar umum guna memperbaiki (memulihkan) konsekuensi tindakan seseorang dalam hubungannya satu dengan lain. Standar tersebut harus diterapkan tanpa melihat orang. Semua harus tunduk kepada standar  yang obyektif, misalnya pidana memperbaiki yang telah dilakukan oleh kejahatan; pemulihan memperbaiki kesalahhan perdata. 
2.3. Aliran Romawi
Teori Hukum aliran Romawi lebih banyak menciptakan konsep-konsep serta teknik-teknik  yang berhubungan dengan hukum positif, seperti bidang kontrak, kebendaan, ajaran-ajaran tentang kesalahan. Hipotik dalam KUH Perdata adalah salah satu konsep hukum aliran  ini.
Hukum aliran Romawi juga merumuskan kembali konsep keadilan Plato menjadi model keadilan zaman Romawi sebagaimana dikemukakan Ulpianus “ honeste vivere, alterum non laedere, suum euique tribuere” (hidup secara terhormat tidak mengganggu orang di sekelilingmu, memberikan kepada setiap orang bagiannya),
2.4. Aliran Natural
Pelopor aliran ini adalah Thomas Aquinas. Menurutnya, hukum itu bersifat  universal dan abadi karena hukum itu berasal dari Tuhan. Ini berarti bahwa hukum tidak berubah dan berlaku umum. Teori ini  sangat kuat mendominasi  pada abad pertengahan, seiring pengaruh gereja sangat kuat dalam kehidupan masyarakat dan ketatanegaraan. Semua dikembalikan menurut pandangan agama. Hukum pada zaman itu dikatakan berada dalam  zaman kegelapan (Dark Ages).
2.5 Aliran Positivisme
Teori hukum aliran Positivisme muncul pada abad ke- 19. Hal ini dipengaruhi oleh perkembangan-perkembangan dalam masyarakat yang bersifat kritis dibandingkan dengan zaman sebelumnya yang bersifat idealistis.
Tokoh sentral dalam aliran ini adalah John Austin. Ia berpendapat bahwa untuk dapat dinamakan sesuatu itu hukum harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.       Adanya penguasa tertinggi yang berwenang menetapkan peraturan
b.      Harus ada sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut
c.       Adanya daya memaksa apabila sanksi tidak ditaati.
Berdasarkan pendapatnya tersebut, ia mengatakan bahwa satu-satunya sumber dari hukum adalah kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara. Sumber-sumber yang lain  disebutkan sebagai sumber yang lebih rendah (subordinate sources) yang tidak dianggap sebagai sumber hukum. 
Kesimpulannya bahwa hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu negara.
Dalam praktek  hukum,  terdapat  3 (tiga) aliran hukum yaitu :
1.
2.6. Aliran Legisme 
Setelah adanya  kodifikasi di negara  Perancis yang menganggap bahwa Code Civil Perancis sudah sempurna, lengkap serta dapat menampung seluruh masalah hukum, maka timbullah aliran legisme  yang berpendapat :
a.       Bahwa satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang
b.      Bahwa di luar undang-undang tidak ada hukum
Dalam aliran legisme hakim hanya merupakan sub sumtie authomaat dan pemutusan perkara hanya didasarkan pada undang-undang saja.  Aliran legisme dipandang  sebagai suatu usaha yang baik sekali dengan menghasilkan  kesatuan dan kepastian hukum, maka banyak negeri yang mengikuti jejak Perancis antara lain  Belanda, Belgia, Jerman, Swiss.
Pengikutnya  adalah Freiderich (Jerman) dan Van Swinderen ( Belanda). Setelah berjalan  40-50 tahun aliran Legisme menunjukkan kekurangan-kekurangannya, yaitu bahwa permasalahan-peramsalahan hukum yang timbul kemudian tidak dapatdipecahkan oleh undang-undang yang telah dibentuk.[4]
2.7.   Aliran Freie Rechtslehre
Dilatar belakangi kekurangan-kekurangan aliran legisme yang ternyata tidak dapat memenuhi kebutuhan dan tidak dapat mengatasi persoalan-persoalan baru yang tidak diatur dalam undang-undang, timbullah aliran Freie Rechtslehre. 
Aliran ini menyatakan bahwa hukum tidak dibuat oleh badan legislatif dan bahwa hukum terdapat di luar undang-undang.
Berbeda dengan aliran legisme dimana hakim terikat sekali  pada undang-undang, dalam Freie Rechstslehre hakim bebas menentukan atau menciptakan hukum dengan melaksanakan undang-undang atau tidak. Aliran Freie Rechtslehre menekankan pada pemahaman  yurisprudensi  (primer) sedangkan penguasaan undang-undang adalah sekunder. 
a.       Hakim benar-benar menciptakan hukum (judge made law) karena keputusannya  didasarkan pada keyakinan hakim.
b.      Keputusan hkim lebih dinamis dan up to date karena senantiasa mengikuti perkembangan di dalam masyarakat.
c.       Hukum hanya terbentuk oleh Peradilan (rechts – spraak)
d.      Bagi hakim, Undang-undang, kebiasaan dan sebagainya hanya merupakan sarana saja dalam membentuk atau menciptakan serta menemukan hukum pada kasus-kasus yang konkret.
e.       Pandangan Freie Rechtslehre bertitik berat pada kegunaan sosial (sociale doelmatigheid).
Hukum bebas ini timbul di dalam masyarakat dan diciptakan oleh masyarakat sendiri berupa kebiasaan dalam kehidupan masyarakat dalam hukum kongkret (hukum alam) yang sudah menjadi tradisi baik yang diajarkan oleh agama maupun adat istiadat.
Freie Rechtslehre ditimbulkan untuk pertama kalinya di Jerman dalam pertengahan abad 19 sekitar tahun 1840 oleh Herman Kantorowicz, Eugen Ehrlich dan Oscar Bulow. Aliran Freie Rechtslehre menjalar ke Belanda. 
Tujuan dari aliran Freie Rechtslehre ialah :
a.       Memberikan peradilan sebaik-baiknya dengan cara memberi kebebasan kepada hakim tanpa terikat pada Undang-undang tetapi menghayati tata kehidupan sehari-hari.
b.      Membuktikan bahwa dalam Undang-undang terdapat kekurangan-kekurangan dan kekurangan itu perlu dilengkapi
c.       Mengharapkan agar hakim-- dalam memtusukan perkara didasarkan kepada cita keadilan(rechtside)[5].
2.8. Aliran  Rechtsvinding
Dalam perkembangannya lebih lanjut pada dewasa ini pandangan-pandangan terhadap hukum ada perubahan karena :
a.       Hukum itu harus berdasarkan asas keadilan masyarakat yang terus berkembang
b.      Ternyata pembuat Undang-undang tidak dapat mengikuti kecepatan gerak masyarakat atau proses perkembangan  sosial sehinggga penyusunan Undang-undang selalu ketinggalan.
c.       Undang-undang tidak dapat menyelesaikan  tiap masalah yang timbul. Undang-undang tidak dapat terinci (mendetail)  melainkan hanya memberikan  pedoman umum (algemeene richtlijnen)  saja.
d.      Undang-undang tidak dapat sempurna, kadang-kadang dipergunakan istilah-istilah yang kabur dan hakim harus memberikan makna yang lebih jauh dengan cara memberi penafsiran.
e.       Undang-undang  tidak dapat lengkap dan tidak dapat mencakup segala-galanya. Di sana sini selalu ada kekosongan dalam undang-undang (leemten) maka hakim  harus menyusunnya dengan jalan mengadakan rekonstruksi hukum, rechtverfijning atau argumentum a contrario.
f.       Apa yang patut dan masuk akal dalam kasus-kasus  tertentu juga berlaku bagi kasus lain yang sama.
Menurut aliran Rechtsvinding hukum terbentuk dengan beberapa cara ialah :
a.       Karena pembentukan Undang-undang (Wetgeving)
b.      Karena administrasi atau tata usaha negara
c.       Karena peradilan  atau rechtsspraak
d.      Karena kebiasaan atau tradisi yang sudah mengikat masyarakat
e.       Karena ilmu (wetenschap).
Aliran Rechtsvinding  merupakan aliran  di antara aliran Legisme dan Freie Rechtslehre. Aliran Rechtsvinding tetap berpegang pada  undang-undang, tapi tidak seketat aliran legisme, karena hakim juga mempunyai kebebasan. Tetapi kebebasan ini tidak sama dengan kebebasan yang dianut oleh Freie Rechtslehre. 
Hakim mempunyai kebebasan  yang  terikat  (gebonden vrijheid)  dan keterikatan  yang bebas (vrije gebondenheid).  Tugas hakim merupakan upaya untuk menselaraskan undang-undang dengan tuntutan zaman, dengan hal-hal yang konkret yang terjadi dalam masyarakat dan bila perlu menambah undang-undang yang disesuaikan  pada asas-asas keadilan masyarakat[6]. 
2.9  Aliran di Indonesia
Menurut  pendapat  ahli,  Indonesia menganut aliran Rechtsvinding. Hakim  dalam memutuskan perkara  berpegang pada undang-undang dan hukum lainnya yang berlaku di dalam masyakarat secara gebonden vritjheid dan vritje gebondenheid. 
2.10          Teori Hierarki Norma (Stufenbau Theory)
Hans Kelsen mengembangkan sebuah Teori Hukum Murni ( General Theory of Law and State). Aliran Teori Hukum Murni merupakan suatu pengembangan dari teori mazhab positivisme, yang menitikberatkan  pada inti ajarannya mengenai hukum dapat dibuat dari undang-undang. Menurut W. Friedman, inti  ajaran Teori Hukum Murni adalah :
1.   Tujuan teori hukum, seperti tiap ilmu pengetahuan adalah untuk mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan
2.   Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan mengai hukum yang seharusnya
3.   Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam
4.   Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak ada hubungannya dengan daya kerja norma-norma hukum
5.   Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang cara menata, mengubah isi dengan cara yang khusus
6.   Hubungan antara teori hukum dan sistem yang kas dari hukum psoitif ialah hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang nyata.[7]
Selain ajaran Hukum Murni, Hans Kelsen  mengemukakan teori Hirearki Norma Hukum (Stufenbau Theory - Stufenbau  des Recht). Ajaran Stufenbau  berpendapat bahwa sistem hukum itu merupakan suatu hirearki dari hukum. Pada hirearki itu, suatu ketentuan hukum tertentu  bersumber pada ketentuan yang lebih tinggi. Dan ketentuan yang tertinggi ini ialah Grundnorm atau norma dasar yang bersifat hipotetis. Ketentuan yang lebih rendah merupakan kongkretisasi dari ketentuan yang lebih tinggi. 
Hans Nawiansky menyempurnakan Stufenbau Teori yang dikembangkan oleh gurunya, Hans Kelsen. Hans Nawinsky mengembangkan teori tersebut dan membuat Tata Susunan Norma Hukum Negara (die Stufenordnung der Rechtsnormen) dalam empat tingkatan:
1.   Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara) atau Grundnorm (menurut teori Kelsen)
2.   Staatsgrundgezets (Aturan Dasar/Pokok Negara)
3.   Formell Gezets (UU Formal)
4.   Verordnung & Autonome Satzung (Aturan Pelaksana dan Aturan Otonomi).[8]
Menurut teori Kelsen-Nawiansky grundnorm atau staatsfundamentalnorm adalah sesuatu yang abstrak, diasumsikan (presupposed), tidak tertulis; ia tidak ditetapkan (gesetz), tetapi diasumsikan, tidak termasuk tatanan hukum positif, berada di luar namun menjadi dasar keberlakuan tertinggi bagi tatanan hukum positif, sifatnya meta-juristic .
BAB IIII
PEMBAHASAN
3.1    Hierarki Hukum Perundang-undangan di Indonesia
Berdasarkan teori-teori yang telah dikemukakan terdahulu, dapat dilihat bahwa Indonesia sudah  menerapkan  Hirearki  Norma Hukum (Stufenbau Theory)  yang dicetuskan Hans Kelsen dan dikembangkan Hans Nawiasky. Penerapan Stufenbau dimaksud dapat dilihat dari  Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat  No. III  Tahun 2000 (Tap MPR III/2000). Tap MPR III/2000 tersebut mengatur  bahwa tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia adalah :
1.      UUD 1945
2.      Ketetapan MPR
3.      Undang-undang
4.      Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
5.      Peraturan Pemerintah
6.      Keputusan Presiden
7.      Peraturan Daerah
Selanjutnya Tap MPR III/2000 mengatur sebagai berikut :
a.       Sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan, maka setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi (Pasal 4 ayat (1))
b.      Peraturan atau keputusan Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, Menteri, Bank Indonesia, Badan, lembaga atau komisi yang setingkat atau yang dibentuk oleh Pemerintah tidak boleh bertentangan denan ketentuan yang termuat dalam tata urutan perundang-undangan yang dimuat dalam Tap MPR III/2000 (Pasal 4 ayat (2)).
Seiring perjalanan  dan perkembangan negara dan politik, kemudian dikeluarkan  Undang-undang No. 10 Tahun 2004  tentang Pembentukan Perundang-undangan.  
Sesuai Pasal 7   Undang-undang 10 Tahun 2004, ditegaskan bahwa 
(1)   jenis dan hirearki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut :
a.       Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b.      Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
c.       Peraturan Pemerintah
d.      Peraturan Presiden
e.       Peraturan Daerah.
(2)   Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (10 huruf e meliputi :
a.       Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur
b.      Peraturan Daerah kabupaten/kota yang setingkat dibuat oleh dewan  perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota
c.       Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama denga kepala desa atau nama lainnya.
(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Peraturan Desa/peraturan yang setingkat diatur dengan Peraturan Daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.
(4)   Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi
(5)   Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Apabila  Tap MPR III/2000  dan UU No. 10 Tahun 2004 tersebut diperbandingkan dengan   keempat golongan norma hukum tersebut diatas, maka undang-undanglah yang memuat sanksi pidana atau sanksi pemaksa pada aturan-aturannya. Selain dari pada itu, norma hukum di bawah undang-undang dapat memuat sanksi sepanjang didelegasikan oleh undang-undang atau didistribusikan oleh undang-undang. 
Peraturan negara yang memuat sanksi pemaksa yang dapat menjangkau jauh terhadap hak-hak rakyat breupa perampasan harta benda atau perampasan kebebasan, perlu dibentuk dan diberitahukan dengan prosedur yang ditentukan sendiri oleh rakyat melalui peraturan yang ditetapkannya sendiri  atau ditetapkan dengan persetujuannya. Sampai saat ini, prosedur yang ditetapkan adalah dengan mengundangkan dalam Lembaran Negara.
Apabila dalam pemuatan dalam Lembar Negara sudah dilakukan sesuai prosedur, maka berdasarkan azas publisitas semua orang dianggap telah mengatahui isi peraturan tersebut dan dengan demikian  peraturan tersebut mempunyai kekuatan  mengikat. 
Dalam prakteknya selama ini, peraturan perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Negara adalah Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti  Undang-undang dan Keputusan Presiden. Adapun Peraturan Daerah  diundangkan dalam Lembaran Daerah yang fungsinya sama dengan Lembaran Negara.
3.2  Kedudukan Peraturan Bank Indonesia (PBI) dalam hirearki Hukum (Perundang-undangan)  di Indonesia
Di dalam UU No.23/1999 jo UU No.3/2004 sedikitnya terdapat 11 pasal yang secara tegas mengamanatkan agar masalah tertentu diatur dengan Peraturan Bank Indonesia. Pasal-pasal tersebut adalah: 
1.      Pasal 3 ayat (2), Pelaksanaan pembawaan uang rupiah dalam jumlah tertentu keluar atau masuk wilayah pabean Republik Indonesia 
2.      Pasal 10 ayat (3), Pelaksanaan pengendalian moneter 
3.      Pasal 11 ayat (3), Pengaturan mengenai kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari
4.      Pasal 14 ayat (5), Pengaturan mengenai pelaksanaan survei untuk mendukung pelaksanaan tugas Bank Indonesia 
5.      Pasal 15 ayat (2), Kewenangan mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran  
6.      Pasal 17 ayat (2), Pelaksanaan penyelenggaraan kegiatan kliring antar bank dalam mata uang rupiah dan/atau valuta asing
7.      Pasala 18 ayat (3), Penyelenggaraan penyelesaian akhir transaksi pembayaran antar bank dalam mata uang rupiah dan/atau valuta asing;
8.      Pasal 23 ayat (5),  Pelaksanaan pencabutan dan penarikan uang dari peredaran;
9.      Pasal 25 ayat (2), Pelaksanaan kewenangan menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian 
10.  Pasal 30 ayat (3), Syarat-syarat  bagi pihak lain yang ditugasu oleh Bank Indonesia 
11.  Pasal 72 ayat (3), Pelaksanaan sanksi administratif
Hal-hal tersebut sejalan dengan kewenangan Bank Indonesia untuk mengeluarkan peraturan/penetapan (power to regulate) dan kewenangan untuk mengenakan sanksi (power to impose sanctions).
Berkenaan dengan kedudukan Peraturan Bank Indonesia sebagai peraturan pelaksana dari undang-undang, patut dikemukakan bahwa Peraturan Bank Indonesia sangat menentukan dalam pencapaian tujuan dan pelaksanaan tugas Bank Indonesia. 
Pasal 7 UUBI, Tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah
Pasal  8 UUBI, Tugas BI adalah menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; mengatur dan menjagakelancaran sistem pembayaran; mengatur dan mengawasi Bank. 
Hal ini juga terkait dengan kedudukan Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang independen.
Sebagaimana dimaklumi bahwa sesuai Undang-undang Bank Indonesia No. 23 Tahun 1999,   Bank Indonesia  mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan  ketentuan ketentuan  yang menjadi perangkat hukum bagi pelaksanaan tugas Bank Indonesia diantaranya Peraturan Bank Indonesia (PBI).  Menurut Pasal 1 ayat (8) UUBI, PBI adalah ketentuan hukum yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan mengikat setiap orang atau badan dan dimuat dalam Lembaran Negara.
Apabila ditinjau dari  posisi PBI dalam Lembar Negara, maka  PBI  seolah sejajar dengan PeraturanPemerintah sebagaimana  dalam UU No. 10 Tahun 2004. Namun  demikian,  mengacu pada  ayat (2) Pasal 5 Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-undang sebagaimana mestinya. PBI  tidak mungkin disetarakan dengan Peraturan Pemerintah.  Berdasarkan   UUD 1945 tersebut, Presiden memiliki kewenangan untuk menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai  peraturan pelaksanan Undang-undang. Hal itu berarti juga bahwa Peraturan Pemerintah dimungkinkan untuk diterbitkan sebagai peraturan pelaksana bagi Undang-undang Bank Indonesia. Sementara itu, Peraturan Bank Indonesia merupakan pelaksanaan dari  Undang-undang Bank Indonesia.
Secara nalar pemikiran yang sehat, adalah ironis dan tidak logis apabila menempatkan PBI  disetarakan apalagi  di bawah  Peraturan Daerah.
Mengenai kedudukan Peraturan Bank Indonesia ini, Agus Santoso dan Anton Purba mengatakan dalam tulisannya yang berjudul “Kedudukan Bank Indonesia dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Amandemen Keempat) dan Usulan Komisi Konstitusi dalam Konsep Amandemen Kelima UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945” menyatakan:
“Apabila disepakati bahwa Bank Indonesia berada dalam lingkup kekuasaan eksekutif dan kedudukannya tidak setara dengan lembaga presiden, maka tentunya produk hukumnya (PBI) tidak dapat disetarakan dengan Peraturan Pemerintah (PP). Namun apabila ditinjau dari fungsinya, yaitu sebagai ketentuan pelaksana undang-undang, maka Peraturan Bank Indonesia seharusnya dapat disetarakan dengan Peraturan Pemerintah. Dalam hubungan ini dapat dikemukakan bahwa Pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004 hanya mengatur bahwa: “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yan lebih tinggi”. Di dalam penjelasan ayat ini, Peraturan Bank Indonesia antara lain dikelompokan dengan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA). Mengenai hal ini dapat dikemukakan bahwa PERMA tentunya tidak dapat dianalogikan dengan Peraturan Bank Indonesia, karena PERMA tidak mengatur substansi hukum materil, tetapi hanya menyangkut hukum proseduril. Namun, apakah Peraturan Bank Indonesia dengan demikian dapat disetarakan dengan Peraturan Pemerintah dengan alasan bahwa secara analogi  Peraturan Bank Indonesia adalah perangkat aturan pelaksana undang-undang (UU BI dan UU lainnya)? Kalaupun jawabnya Peraturan Bank Indonesia tidak dapat disetarakan dengan PP, namun untuk lingkup tugas yang menjadi kewenangan Bank Indonesia, maka Peraturan Bank Indonesia harus dapat mengenyampingkan PP atau sebaliknya PP tidak boleh mengatur hal-hal yang menjadi lingkup tugas dan wewenang Bank Indonesia”.[9]
Dari kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa Peraturan Bank Indonesia ini merupakan sebuah konsekuensi logis yang merupakan hasil dari kedudukan Bank Indonesia yang independen. Undang-undang No.23/1999 jo UU No.3/2004 memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk mengeluarkan peraturan dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia untuk mengatur aspek-aspek yang terkait dengan tugas dan wewenang Bank Indonesia. Sebagai produk hukum yang berfungsi sebagai peraturan pelaksana dari Undang-undang maka kedudukan Peraturan Bank Indonesia tidak dapat dikesampingkan oleh peraturan pelaksana lainnya.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1.  Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan tersebut di atas, dapat diberikan kesimpulan sebagai berikut :
1.      Teori Hierarki (Stufenbau Theory) sudah diterapkan dan diimplementasikan dalam sistem hukum Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa  meskipun sudah lebih tua dari NKRI, Stufenbau Theory masih mempunyai  relevansi sampai saat ini.
2.      Penyusunan hierarki perundang-undangan tidak serta merta dapat mengikuti  teori karena  perbedaan struktur lembaga negara. Hal ini mencerminkan bahwa penerapan hierarki teori memerlukan penyesuaian terhadap lembaga dalam suatu negara.
3.      Meskipun Stufen Theory dapat diterapkan dalam Hukum di Indonesia, namun masih menyisakan persoalan dimana terdapat Peraturan Bank Indonesia yang secara urutannya harusnya  dimasukkan dalam  Pembentukan Perundang-undangan di Indonesia
4.      Selain persoalan  tersebut di atas,  Peraturan Bank Indonesia sebagai  aturan pelaksanaan sebuah Undang-undang seharusnya dipersamakan dengan Perundangan lain yang merupakan aturan pelaksana dari Undang-undang. Namun dalam hierarki Perundangan Indonesia sebagaimana UU No. 10 Tahun 2004, terdapat hambatan struktural untuk mempersamakan PBI dengan Peraturan Pemerintah meskipun keduanya merupakan aturan pelaksana dari Undang-undang. Bahkan menurut UUD 1945, Peraturan Pemerintah  dapat menggantikan PBI, di sisi lain  PBI sebagai  produk dari lembaga yang independen tidak dimungkinkan diintervensi oleh siapapun termasuk Presiden.
4.2. Saran
1.  Persoalan  yang dihadapi  PBI hendaknya dipandang sebagai masalah bersama sebagai lembaga negara sehingga PBI  tidak diabaikan dari Pembentukan Perundang-undangan. Hal ini mengingat  cakupan PBI tidak terbatas kepada  kelompok tertentu saja.
2. Perlu dikaji  dengan  cakupan yang lebih luas terutama dari aspek  struktur lembaga-lembaga negara aspek  lain untuk merumuskan PBI dalam Perundang-undangan Indonesia.
[1]Prof. Dr Prasetijo Rijadi SH, MS dan Sri Priyati ,SH, MH, Membangun Hukum Mazhap Pancasila  dalam Memahami Hukum, hal. 28
[2]Prof. Dr. B. Arief Sidharta, SH. Meuwissen Tentang Pengembangan Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, hal 39.
[3]Prof Dr Ade Saptono, SH, SU, Akomodasi Keberagaman Ke Dalam Penyusunan Perundang-undangan,  dalam  Memahami Hukum, hal 48
[4]R. Soeroso  SH, Pengantar Ilmu Hukum, hal 87
[5]R. Soeroso,SH, Pengantar Ilmu Hukum, hal 88-89  
[6]R. Soeroso, SH, Pengantar Ilmu Hukum, hal 89-91
[7]Prof. Dr H. Zainuddin Ali, MA., Filsafat Hukum, hal 57-58
[8]Maria Farida Indrati Soeprapto, SH, MH, Imu Perundang-undangan Dasar-dasar dan Pembentukannya, hal 39
[9]Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 4 Nomor 2 (Agustus 2006)., hal. 12
