Friday 22 April 2011

CARA BERHUKUM

Hukum Progresif - Prof. Dr. Satjipto Raharjo hal. 3

Hukum progresif merupakan salah satu cara berhukum yang lebih menguras energi baik pikiran maupun empati dan keberanian. Berbeda dengan cara berhukum yang hanya dimulai dari teks dan berhenti.
Cara berhukum positif-legalistis adalah menerapkan undang-undang (alles binnen de kader van de wet) atau mengeja undang-undang.

Hukum Berkeadilan - Dr. Garuda Wiko hal. 9-11

Jika diperhatikan hukum positif yang sekarang berlaku, ada beberapa pertanyaan yang mungkin perlu dicermati. apakah ada jaminan bahwa hukm positif itu bersesuaian dengan hukum nasional yang hendak kita bangun? Apakah elemen sistem hukum itu mampu menjadi pilar banguna hukum nasioanl sebagaimana cita-cita konstitusi? Benarkah hukum positif yang berlaku telah menggambarka ciri hukum nsional sebagaimana dikehendaki dalam konstitusi?

Paradigma adalah sebagai asumsi-asumsi dasar ang diyakini dan menetukan cara memandang gejala yang ditelaah (Liek Wilardjo, 1990).
Di bidang hukum, paradigma utama yang masih digunakan sampai saat ini adalah paradigma positivistik yang memandang hukum sebagai entitas yang mmapu mencukupi dirinya sendiri secara koheren dan bebas nilai.
Turunan paradigam positivistik ini dijumpai dalam teori " hukum murni" Has Kelsen dalam bukunya " Reine Rechtslehre" 1934 yang cukup mempengaruhi pemikiran hukum di Indonesia.
Arah analisisnya adalah pada strukutr hukum positif , bukan pada penjelasan psikologis dan ekonomis, ataupun penilaian moral pollitik yang menyangkut tujuan-tujuannya.

Paradigma konstruktivisme merupakan paradigma lain yang memandang hukum bersifat plural dan plastis. Plural karena diekspresikan ke dalam berbagai simbol, bahasa dan wacana. Plastis diartikan sebagai sifat dan ciri hukum yang dapat direntangkan dan dibentuk sesuai dengan kebutuhan manusia.
Dari paradigma konstruktivisme lahir teori-teori hukum yang bersifat empiri :
- Roscoe Pound dengan konsep "sociological jurisprudence"
- Karl Llewellyn dan Jerome Frank dengan " realitas jurisprudence" (legal realism)
- Roberto Unger dengan "critical legal studies"
Menurut C. Langdell, Dekan Harvard Law School tahun 1870, pemikiran alternatif muncul sebagai reaksi atas pandangan yang memandang hukum positif bekerja secara mekanik, deterministik, dan terpisah dari hal-hal di luar hukum. Hukum disamakan dengan ilmu eksakta dimana para yuris bekerja di perpustakaan sebagai laboratoriumnya.
Pelaksanaan hukum di Indonesia sampai saat ini masih dirasakan bahwa segala sesuatu berjalan dalam koridor state base. Kekuatan dan potensi masyarakat belum mendapatkan saluran yang rapi dan terpelihara. Partisipasi masyarakat baru pada " penyerapan aspirasi" dan "dengar pendapat" yang boleh "diterima" dan boleh pula "ditinggalkan".
Konsekuensi terpinggirnya masyarakat :
1. Hukum kemungkinan besar hanya akan menjadi teks yang tidak memilki makna sosial yang signifikan
2. lebih jauh lagi hukum dapat menjelma menjadi beban atau faktor pemicu benturan masyarakat.
Oleh karena itu untuk mengimbangin kekuatan negara, perlu dibangun tradisi perbdayaan masyarakat yang berpusat pada manusia (people centered development).
Menurut Sunaryati Hartono (1991) terdapat 12 unsur yang saling mempengaruhi dalam sistem hukum sitem hukum yaitu :
- nilai kehidupan berbangsa
- filsafat hukum
- budaya hukum
- norma hukum,
- bahasa hukum
- lembaga hukum
- prosedur di lembaga hukum
- sumber daya manusia
- pendidikan hukum
- sarana dan prasarana hukum
- lembaga pembangunan hukum
- anggaran pembangunan hukum

Socrates bahwa hakikat hukum adalah keadilan
Plato mencanangkan tatanan dimana kepentingan umum yang diutamakan
Aristoteles bahwa keadilan hukum sama dengan keadilan umum.

sari buku MEMAHAMI HUKUM, Rajawali Pers, 2009.